GLOBALISASI EKONOMI & KEPENTINGAN RAKYAT
Belum hilang dari ingatan kita,
setelah Tembok Berlin runtuh pada 1989 dan sistem ekonomi pasar dianggap
superior dibandingkan dengan sistem ekonomi terpusat, muncul pandangan kuat
bahwa negara yang semakin cepat mengintegrasikan dirinya dengan sistem ekonomi
dunia akan menikmati kemajuan lebih cepat ketimbang yang sebaliknya.
Karena
sejak 1966 ekonomi Indonesia memang mengorientasikan dirinya untuk terbuka
terhadap modal asing, maka negeri ini saat itu dinilai sebagai salah satu
negara yang paling diuntungkan oleh globalisasi ekonomi.
Tidak
tanggung-tanggung, cukup banyak predikat "terbaik" berhasil kita
raih. Indonesia dianggap sebagai salah satu negara paling sukses dalam
menjalankan program keluarga berencana, swasembada pangan (baca: beras),
manajemen utang luar negeri, dan sejenisnya.
Puncaknya
adalah predikat 'Macan Asia' yang didengung-dengungkan oleh berbagai konsultan
dan lembaga internasional. Bahkan hanya beberapa bulan sebelum krisis ekonomi
1997, sejumlah kalangan masih mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia
kuat.
Ketika
krisis menghempaskan Indonesia, kita terbengong-bengong menyaksikan
satu-per-satu yang kita banggakan berantakan. Ternyata telah terlalu lama kita
terlena dalam pujian.
Konsensus Washington
Selama
rezim Orde Baru, kebijakan ekonomi yang dominan diwarnai oleh pemikiran
kelompok ekonom yang oleh pemikir-pemikir ekonom nasionalis disebut sebagai
'Mafia Berkeley'.
Istilah
Mafia Berkeley dikemukakan pertama kali oleh David Rockefeller, saat tim
ekonomi Indonesia pada awal Orde Baru, mengadakan pertemuan di Geneva.
Pertemuan itu untuk mengundang investor asing masuk menyelamatkan ekonomi
Indonesia.
Rockefeller
mungkin melihat para ekonom Indonesia yang dipercayai oleh Presiden Soeharto
banyak yang lulus dari Universitas Berkeley, AS, universitas terkenal dengan
reputasi terpuji. Dengan mengandalkan pada para ekonom terbaik itu, masa depan
Indonesia, dalam bayangan Rockefeller, akan sangat cerah.
Sebagian
bayangan tersebut benar. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi seakan-akan
membuktikan bahwa Indonesia berada dalam 'on the right track' (di jalur
pembangunan yang tepat).
Namun,
tidak banyak yang menyadari bahwa pertumbuhan tinggi tersebut mengandalkan diri
atas utang luar negeri (debt-led development), eksploitasi sumber daya alam
habis-habisan, disertai inefisiensi, dan ketimpangan pembangunan yang parah.
Ujungnya
adalah krisis ekonomi. Kemudian, kita semua tahu Indonesia jatuh dalam pelukan
Dana Moneter Internasional (IMF), yang secara terang-terangan memang membawa
resep solusi yang baku (one size fits all). Solusi baku tersebut dinamakan
Konsensus Washington.
Isi resep
tersebut cukup banyak, ada 10 butir pokok. Tetapi bila diringkas, tiga komponen
utamanya adalah kebijakan fiskal ketat, liberalisasi, dan privatisasi.
Sejak saat
itulah tiga istilah digunakan secara bergantian, yaitu Mafia Berkeley,
Konsensus Washington, dan Neo-liberalisme. Kesamaan pokok antara ketiganya
adalah kepercayaan yang luar biasa kepada keajaiban mekanisme pasar (market
fundamentalism).
Paradigma keliru
Sungguh
menarik, akhir-akhir ini di banyak negara muncul pemikiran baru bahwa
janji-janji yang dibawa oleh para pemikir Neo-liberal ternyata tak kunjung
tiba.
Kita lihat
di Venezuela dan Bolivia, misalnya, pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap
sejumlah industri strategis. Di Thailand, Thaksinomics dikaji ulang, karena
hasil nyata yang mudah dilihat sejumlah aset penting negara jatuh ke tangan
asing.
Di lain
pihak, negara-negara yang sekarang menunjukkan kemajuan mantap, seperti China
dan India, disusul Vietnam, justru merupakan negara yang menyesuaikan diri
secara ekstra hati-hati terhadap globalisasi ekonomi.
Bila
demikian halnya, resep atau pujian yang terdengar pada dekade 1980-an, agar
kita cepat-cepat menyesuaikan diri dengan tuntutan globalisasi, adalah
menyesatkan (misleading).
Saking
pongahnya, sampai-sampai kita membuat blunder, yaitu melakukan deregulasi
keuangan (1983, 1988) yang dianggap fantastik, mendahului deregulasi sektor
riil. Spiritnya juga salah, karena acuan pokoknya bukan mengedepankan
kepentingan nasional.
Kesalahan
pemikiran ternyata berakibat lebih fatal dibandingkan dengan kesalahan pelaksanaan.
Michael Todaro, penulis buku teks ekonomi pembangunan, benar bahwa paradigma
pemikiran yang salah mengakibatkan keterbelakangan akut di negara sedang
berkembang.
Kini,
sudah sekitar 40 tahun kita berkutat dengan paradigma pemikiran yang sama. Tidak
pantaskah kalau kita bertanya, tidak adakah yang salah dari semua yang selama
ini kita yakini?
Negara-negara
Amerika Latin, yang telah ratusan tahun membangun, tampaknya menyadari
kekeliruan yang dilakukannya. Mereka tidak sudi lagi menjadi pasien kambuhan
(repeated patient) dari IMF.
Dibutuhkan
keberanian luar biasa memang untuk keluar dari pemikiran lama yang menyesatkan.
Ada yang mengatakan, kita telah kehilangan momentum, karena kekuatan ekonomi
global sudah tidak terbendung.
Tetapi,
tulisan Joseph Stiglitz (2006: xviii), menarik untuk kita renungkan, yaitu:
globalization, like development, is not inevitable even though there are strong
underlying political and economic forces behind it....If globalization leads to
lower standards of living for many or most of the citizens of a country and if
it compromises fundamental cultural values, then there will be political
demands to slow or stop it.
0 Response to "GLOBALISASI EKONOMI & KEPENTINGAN RAKYAT "
Posting Komentar