INDONESIA Di TENGAH ARUS GLOBALISASI
Memaknai
Globalisasi
Kata
‘globalisasi’ diambil dari kata global. Kata ini melibatkan kesadaran baru
bahwa dunia adalah sebuah kontinitas lingkungan yang terkonstruksi sebagai
kesatuan utuh. Marshall McLuhans menyebut dunia yang diliputi kesadaran
globalisasi in global village (desa buana). Dunia menjadi sangat transparan,
sehingga seolah tanpa batas administrasi suatu Negara. Batas-batas geografis
suatau Negara menjadi kabur. Globalisasi membuat dunia menjadi transparan
akibat perkembangan pesat lmu pengetahuan dan teknologi serta adanya sstem
informasi satelit. Arus globalisasi lambat laun semakin meningkat dan
menyentuh hamper setiap aspek kehidupan sehari-hari. Globalisasi memunculkan
gaya hidup cosmopolitan yang ditandai oleh berbagai kemudahan hubungan dan
terbukanya aneka ragam informasi yang memungkinkan individu dalam masyarakat
mengikuti gaya-gaya hidup baru yang disenangi (Muctarom, 2005).
Istilah
globalisasi yang dipopulerkan Theodore Lavitte pada 1985 ini tela menjadi
slogan magis di dalam setiap topik pembahasan. Substansi gobalisasi adalah
ideologi yang menggambarkan proses interaksi yang sangat luas dalam berbagai
bidang: keonomi, politik, sosial, teknologi dan budaya.
Globalisasi
juga merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses multilapis
dan multidimensi dalam realitas kehidupan yang sebagian besar dikonstruksi
Barat, khususnya oleh kapitalisme dengan nilai-nilai dan pelaksanaannya.
Didalam dunia global, bidang-bidang di atas terjalin secara luas, erat, dan
dengan proses yang cepat. Hubungan ini ditandai dengan karakteristik hubungan
antara penduduk bumi yan gmelampaui batas-batas konvensional, seperti bangsa
dan Negara. Keadaan demikian ini menunjukkan bahwa relasi antara kekuatan
bangsa-bangsa di dunia akan mewarnai berbagai hal, yaitu sosial, hukum,
ekonomi, dan agama.
Fredman
(1999) mengartikulasikan globalisasi sebagai sebuah interelasi yang
sedemikian eratnya antara Negara, pasar dan teknologi. Kondisi ini
memungkinkan baik perorangan, perusahaan, maupun Negara untuk lebih mudah
menjangkau ke seluruh penjuru dunia, lebih cepat, lebih dalam, lebih luas dan
tentu saja lebih murah daripada sebelumnya. Globalisasi ditandai dengan
disatukannya dunia dengan teknologi internet (world-wide-web); meningkatnya
fluktuasi perdagangan internasional sampai ke derajat yang luar biasa;
digantinya sistem, mekanisme hingga budaya yang lama, yang tidak efisien
dengan yang baru, yang lebih produktif, lebih efisien; dan seluruh teman
maupun lawan dikonversi menjadi competitor.
Hemmer
(2002) memformuasikan globalisasi sebagai pembagian proses produksi ke
berbagai lokasi yang berjauhan, yang memacu pesatnya perdagangan barang, PMA,
dan integrasi antarpasar modal dunia, maupun semakin disesuaikannya struktur
permintaan dan konsumsi nasonal/lokal terhadap produk-produk internasional.
Singkatnya, globalisasi adaah terjadinya internasionalisasi aktivitas ekonomi
secara ekstrem.
Globalisasi
yang mengemuka dewasa ini merupakan hasil dari system dan proses pembangunan
dunia internasional yang bertumpu kepada strategi “satu memantapkan semua”
yang dijalankan kaum kapitalis dalam masyarakat internasional yang demikian
heterogen. Strategi itu sendiri merupakan respons terhadap tantangan cultural
dan intelektual masyarakat internasional dewasa ini. Konsep yang mulanya
dirumuskan sebagai Konsensus Washington (Chomsky, 2001), akhirnya
dipopulerkan dengan terminology globalisasi. Ia tampil sebagai sebuah
terminology baru, dalam bahasa mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat,
James Baker, disebut “sebuah tatanan ekonomi liberal global, sebuah tatanan
dunia kapitalis”.
Globalisasi
yang mengemuka dewasa ini merupakan hasil dari system dan proses pembangunan
dunia internasional yang bertumpu kepada strategi “satu memantapkan semua”
yang dijalankan kaum kapitalis dalam masyarakat internasional yang demikian
heterogen.
Globalisasi
bukan hanya, atau bahkan terutama, tentang saling ketergantungan ekonomi,
tetapi tentang transformasi waktu dan ruang dalam kehidupan kita. Peristiwa
di tempat yang jauh, entah yang berkaitan dengan ekonomi atau tidak,
memengaruhi kita secara lebih langsung dan segera daripada yang pernah
terjadi sebelumnya. Sebalknya, keputusan yang kita ambil sebagai
individu-individu seringkali memiliki implikasi global. Kebiasan makan
masing-masing individu, misalnya memengaruhi para produsen makann, yang
mungkin hidup di sisi lain dunia ini.
Revolusi
komunikasi dan penyebaran teknologi informasi sangat erat kaitannya dengan
proses-proses globalisasi. Ini bahkan juga berlaku dalam arena ekonomi. Pasar
uang yang bergerak dua puluh empat jam bergantung pada gabungan teknologi
satelit dan computer yang juga memengaruhi banyak aspek kemasyarakatan
lainnya. Dunia dengan komunikasi elektronik yang seketika, dimana bahkan yang
berada wilayah termiskin pun terlibat, mengguncang institusi-institusi lokal
dan pola kehidupan sehari-hari. Dampak televise saja sudah demikian besar.
Sebagian besar komentator setuju, misanya, bahwa peristiwa-peristiwa tahun
1989 di Eropa Timur tak akan terungkap sedemikian rupa jika tak ada televise.
Begitulah,
globalisasi menjadi kekuatan yang terus meningkat, dan dapat menimbulkan aksi
dan reaksi dalam kehidupan. Globalisasi melahirkan dunia yang terbuka untuk
saling berhubungan, terutama dengan ditopang teknologi informasi yang
sedemikian canggih. Topangan teknologi informasi ini pada gilirannya dapat
mengubah segi-segi kehidupan, baik kehidupan material maupun kehidupan
spiritual.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi ini di satu sisi memberikan kemudahan hidup
bagi umat manusia, tetapi di sisi lain dapat menimbulkan berbagai perubahan,
diantaranya pergeresan nilai. Soejatmiko menyebutkan tiga factor utama yang
mendorong terjadinya perubahan, yaitu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
factor kependudukan dan ekologi (lingkungan hidup). Penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi menjadi kunci perubahan. Dalam konteks ini,
Negara-negara Barat yang berbahasa Inggris, menurut John Naisbitt dan
Patricia Aburdence, akan mendominasi gaya hidup global.
Wujud
Globalisasi di Ranah Ekonomi
Pembahasan
mengenai globalisasi kembali mengemuka pada bulan November 2002 di Majalah
Criminal Politic Magazine terbitan Amerika dibawah rubric Globalology
(al-Khatib, 2000). Majalah tersebut mempublikasikan sebuah artikel berjudul
“The Carrol Quigley-Clinton Connection” (Hubungan Presiden Clinton dengan
Profesor Carrol Quigley). Carrol Quigley adalah dosen Clinton di Universitas
Geogetown, yang mengasuh beberapa mata kuliah mengenai ekonomi strategis pada
salah satu program pascasarjana universitas tersebut. Tulisan itu
menyebutkan, Carrol Quigley pernah mengijinkan Clinton mengutip
kebijakan-kebijakan yang bersifat rahasia dan meminta Clinton mempelajarinya
dan turut serta mempersiapkan kajian-kajian yang dapat menguntungkan
Pemerintah Amerika. Clinton terus melakukan kajian dan persiapan-persiapan
selama kurun waktu 20 tahun. Akhirnya, ia berhasil menelorkan ide-ide ekonomi
yang berhubungan dengan Tata Dunia Baru. Dia telah meletakkan asas-asas
kajian dan penelitiannya yang dibuktikan dengan pernyataan “tidaklah mudah
menciptakan tata aturan dunia yang didasarkan pada dominasi perekonomian
internasional sebagai satu kesatuan”.
Ide-ide
ekonomi tersebut muncul ke permukaan pada awal dasawarsa 900-an. Ide tersebut
mengintroduksi strategi ekonomi dalam skala luas untu melemahkan sosialisme
secara total dan menggantikannya dengan kapitalisme, termasuk ide globalisasi
ekonomi pasar, dan perdagangan bebas sebagai ide-ide yang diklaimaktual dan
paling relevan di era millennium. Tokoh yang menjadi perintis globalisasi ini
adalah Presiden Clinton, mengingat istilah ini muncul bersamaan dengan awal
pemerintahannya. Strategi ekonomi global ini dilakukan dengan melancarkan
tenakan agar dihilangkannya hambatan-hambatan, pajak-pajak, bea-bea masuk dan
ketentuan-ketentuan mengenai proteksi serta monopoli perekonomian Negara.
Globalisasi
ekonomi merupakan pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam
sebuah system ekonomi global. Segenap aspek perekonomian; pasokan dan
permintaan, bahan mentah, informasi dan transportasi, tenaga kerja, keuangan,
distribusi, serta kegiatan-kegiatan pemasaran meyatu atau terintegrasi dan
terjalin dalam huungan saling ketergantungan yang berskala dunia. Perjanjan
internasional di Marakesh, Maroko, April 1994 yang menghasilkan kesepakatan
internasional yang disebut General Agreement on Tariff and Trade (GATT)
menjadi tonggak awal dimulainya era globalisasi di bidang ekonomi. Substansi
kesepakatan GATT menunjukkan, setiap warga Negara yang mengikatkan diri dalam
perjanjian tersebut harus patuh pada aturan internasional yang mengatur
perilaku perdagangan antarpemerintah dalam era perdagangan bebas. Sebagai
tindak lanjut, pada 1995 dibentuk sebuah organiasasi pengawasan dan control
perdagangan global yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO).
Kemudian disusul oleh pembentukan blok-blok ekonomi; di Asia dibentuk Asean
Free Trade Area (AFTA), di Asia Pasifik dibentuk Asia Pasific Economic
Cooperation (APEC) dan di kawasan Eropa dibentuk Single European Market (SEM)
dan di Negara-negara Atlantik Utara dibentuk North America Free Trade Area
(NAFTA).
Perdagangan
global tersebut dilandasi motivasi utama untuk memaksimalkan keuntungan
(uang) dan kekuasaan. Globalisasi yang menghendaki perdagangan bebas menuntut
seluruh perekonomian diserahkan pada mekanisme pasar. Mekanisme pasarlah yang
akan menetukan apakah sebuah produk dari sebuah Negara dapat bersaing atau
tidak. Pola ekonomi global inilah yang kemudian memunculkan “neoliberalisme”.
Pasar akan dikuasai oleh komoditas-komoditas dari Negara maju yang akan
memarginalkan Negara-negara miskin. Sebagai akibatnya adalah munculnya
kesenjangan ekonomi yang akut. Ini berarti globalisasi ekonomi tidak menjamin
keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat lemah dan miskin, baik dalam
skala internasional maupun nasional.
Fenomena
menunjukkan bahwa proses integrasi system ekonomi nasional ke dalam ekonomi
global terus berlangsung dengan penerapan format ekonomi liberal ke dalam
struktur perekonomian dunia. System yang berlaku menunjukkan eksport untuk
setiap Negara ditujukan untuk pasar dunia, selain untuk pasar regional.
System ini mengharuskan dihapuskannya batasan dan hambatan yang menghalangi
arus masuk dan keluarnya modal, barang dan jasa dari suatu Negara. Dengan
demikian, pasar dan perekonomian dunia itu bukan perekonomian yang tertutup
dan terproteksi, melainkan perekonomian terbuka, yang disebut dengan pasar
terbuka, pasar bebas.
Pasar
tidak pernah memikirkan mengenai aspek sosial atau agenda penghapusan
kemiskinan. Pasar adalah mengenai bagaimana menghasilkan interaksi-interaksi
penawaran dan pemerintahan, yang pada akhirnya didominasi “pemain besar” yang
bertujuan mencari laba yang membutuhkan gagasan-gagasan besar yang sempurna.
Bukti paling jelas adalah liberalisasi sector keuangan yang diperjuangkan
World Bank dan IMF sejak tahun 1980-an, yang kini menjadi sebab utama krisis
ekonomi, pelarian modal keluar, beban utang yang meningkat tajam, dan
volatilitas keuangan yang tidak berkesudahan yang membangkrutkan
bangsa-bangsa Negara berkembang dan miskin hanya dalam hitungan jam dan hari.
Globalisasiadalah
pasar yang mengglobal, atau kapitalisme global. Pasar bukanlah konsep netral,
tetapi nama lain dari kapitalisme. Kalau dulu bernama kapitalisme internasional,
sekarang berubah nama menjadi kapitalisme global, karena secara kauntitatif
telah membesar secara luar biasa. Kalau dulu sekitar tahun 1980-an, transaksi
keuangan dunia hanya sekitar 300 juta dollar sehari, sekarang di tahun
1990-an meningkat tajam menjadi 1 trilliun dollar sehari. Kalau dulu
transaksi memerlukan waktu berhari-hari, sekarang cukup dalam hitungan per
detik, maka milliaran dollar bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain,
berkat electronic mail. Jadi, arti kata global mengandung arti lingkupnya
yang kompak, terintegrasi dan menyatu; menggantikan ekonomi nasional dan
regional.
Pasar
dengan sendirinya berlawanan dengan agenda penghapusan kemiskinan yang hendak
dilakukan oleh siapa pun ( Setiawan, 2006), baik pemerintah nasional, badan-badan
PBB, organisasi-organisasi non-pemerintah, organisasi-organisasi charity,
badan-badan keagamaan, dan lain-lain. Upaya penghapusan kemiskinan akan mirip
“menabur garam di laut”, selama globalisasididefinisikan seperti sekarang
ini, yaitu globalisasi versi neoliberal. Globalisasi seperti ini mengandung
dua ciri utama, yaitu:
(1)
Multilateralisme, yaitu kekuasaan badan-badan antarpemerintah yang telah
menjadi kepanjangan tangan ekspansi global kapitalisme, yaitu tiga bersaudara
(triumvirat) Bank Dunia-IMF-WTO. Lembaga-lembaga Bretton Woods semula
dimaksudkan untuk menstabilkan perekonomian setelah Perang Dunia II guna
membangun kesejahteraan Negara-negara anggotanya. Paham dasarnya adalah
Keynesian. Akan tetapi semenjak 1980-an, bersamaan dengan dominannya paham
neoliberal, multilateralisme telah bertukan paham ikut memeluk
neoliberalisme. Dan bersamaan dengan kapitalisme global, multilateralisme
telah menempatkan dirinya menjadi supra-negara. Operasi badan-badan ini telah
melabrak kedaulatan nasional Negara, mengintervensi kebijakan domestic, dan
memfasilitasi masuknya TNC untuk menguasai ekonomi suatu Negara bersangkutan.
Multilateralisme juga berarti koherensi atau kerjasama erat di antara Bank
Dunia-IMF-WTO dalam operasi-operasinya, khususnya dengan menggunakan
cross-conditionalities (prasyarat bersilang) kepada Negara-negara Dunia
Ketiga. Akan tetapi perlu diingat bahwa di balik badan-badan ini dikuasai
sepenuhnya oleh kepentingan Negara-negara maju, khususnya hegemoni Amerika
Serikat dan Negara-negara G-7 (Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis,
Jerman, Jepang, Italia).
(2)
Transnasionalisasi, yaitu menguatnya monopoli dan konsentrasi modal serta
kekuasaan ekonomi kepada korporasi-korporasi besar dunia. Semua mekanisme
kapitalisme global berujung pada keuntungan di pihak TNC (Transnational
Corporation). Globalisme dan multilateralisme adalah sistem dan mekanisme
guna menempatkan TNC pada kedudukan utama. Ini memudahkan TNC melakukan
ekspansi ke berbagai Negara dengan mendapat berbagai kemudahan, seperti tarif
bea masuk yang rendah atau malahan nol persen; kemudahan invetasi lewat
penanaman modal asing 100%; penguasaan dan monopoli HAKI sehingga teknologi
terus menerus dikuasai mereka; kemudahan untuk menguasai dan memonopoli
berbagai sektor usaha di berbagai Negara, bahkan yang bersifat barang publik
(public goods). Hal ini semua yang diatur oleh WTO, IMF, dan Bank Dunia.
Semua kemudahan tersebut dan penghapusan atas berbagai hambatan usaha di
suatu Negara akan semakin memperbesar TNC dan membuatnya sebagai penguasa
dunia yang sebenarnya.
Mekanisme
globalisasi yang juga merupakan bentuk kolonialisme baru adalah utang. Utang
pada dasarnya bukanlah semua kedermawanan atau bantuan Negara maju kepada
Negara berkembang. Kebalikannya, utang merupakan bagian utama dari
kolonialisme baru. Semenjak 1950-an, sudah disadari bahwa utang merupakan
instrument bagi pendiktean kepentingan Negara-negara Barat kepada Negara
miskin peminjamnya. Meskipun dalihnya adalah bunga lunak yang meringankan,
kenyataannya nilai politisnya jauh lebih bear. Jadi, nilai dominasi Negara
maju untuk mendikte yang boleh dan yang tidak, atau kebijakan yang baik dan
buruk bagi mereka, merupakan dasar dari strategi pembangunanisme yang salah
kaprah. Utang merupakan alat ampuh hegemoni Negara Barat atas klien-kliennya,
sehingga posisi Negara-negara miskin tersebut ada dibawah (disubordinasi).
Utang telah memainkan peran yang luar biasa dalam menjaga suatu Negara tunduk
pada orbit kapitalisme Barat. Utang juga menguntungkan, karena tingkat pengembaliannya
lebih pasti ketimbang utang komersial, karena dijamin Negara. Negara pasti
membayar. Utang adalah bisnis yang stabil. Dan makin lama jangka waktu
pinjamannya, maka semakin menguntungkan, karena berarti pokok dan bunganya
akan berlipat-lipat dalam jangka waktu lama. Dalih bahwa bunga utang dari
Bank Dunia dan IMF sangat ringan, juga menyesatkan. Asat ini, bunga utang
komersial di tingkat domestic Negara-negara Barat juga kecil, berkisar antara
2-5%; bahkan di Jepang pernah bunga utang bang komersial sampai minus. Jadi,
dengan memberikan utang kepada Negara-negara berkembang, mereka sebenarnya
diuntungkan. Mereka memang harus mencari pasar di luar, karena pasar domestik
mereka stagnan. Apalagi dana pensiun dan dana-dana yang parker dari orang-orang
kaya Negara berkembang tidak bisa diserap mereka, sehingga mereka harus
mencari pinjaman di lua negeri mereka. Utang juga menghidupkan perekonomian
mereka sendiri, karena berarti terbuka luas order untuk perusahaan-perusahaan
di Negara maju. Ini karena utang tidak berbentuk tunai dan juga tidak bebas
digunakan. Utang adalah in-natura (barang) dan mengikat (tied-aid) dalam arti
penggunaannya harus sesuai dengan kepentingan si pemberi pinjaman. Ini
berarti supliernya harus dari Negara pemberi utang. Begitu pun
konsultan-konsultannya, harus dari mereka. Jadi, utang pada dasarnya meberi
penghidupan kepada mereka sendiri. Yang disebut sebagai bantuan atau grant
jumlahnya sangat kecil, dan hanya dipakai sebagai “pancingan” atau gula-gula
pemikat untuk proyek utang yang lebih besar. Grant juga dipakai untuk
memastikan bahwa si pengutang betul-betul akan membayar utangnya. Utang juga
tutup mata mengenai korupsi, yang penting “business must go on”. Jadi, pada
dasarnya korupsi direstui, karena mereka terus saja mengucurkan utang,
meskipun mereka tahu bahwa setiap tahun uang pinjaman tersebut bocor. Utang
dengan demikian adalah sebuah bisnis kotor, dan juga kepanjangan bagi
kolonialisme baru.
Bentuk
nyata Globalisasi adalah privatisasi. Privatisasi atau swastanisasi secara
umum berarti pengalihan BUMN kepada perusahaan swasta. Akan tetapi kini arti
privatisasi lebih luas dari sekedar penjualan asset publik lewat lelang
publik atau penjualan langsung, yaitu termasuk juga berbagai cara lain,
seperti pemberian sub-kontrak dan konsesi dari jasa pemerintah; perjanjian
lisensi; kontrak manajemen; perjanjian penyewaan usaha; peralatan atau asset;
perjanjian usaha patungan (joint-venture¬); secara skema
(Build-Operate-Transfer). Privatisasi baru berkembang pesar dalam 15 tahun terakhir
ini, khususnya setelah Bank Dunia menjalankan program penyesuaian struktural
(Structural adjustment) dan setelah IMF menjalankan program poverty reduction
and growth facility (PRGF) di tahun 1980-an. Kedua lembaga ini menekankan
kepada liberalisasi perdagangan, pengurangan devisit anggaran, dan
memperbaiki kemampuan pemerintah dalam membayar utang-utangnya. Dari sinilah
privatisasi dijadikan sebagai pilihan strategi global; dan sejak itu
dijalankan oleh berbagai Negara berkembang, khususnya yang menderita
ketidakseimbangan ekonomi makro dan terlilit utang. IMF secara instrumental
menerapkannya melalui Letter of Intent, sementara Bank Dunia menyediakan
pinjaman khusus untuk proyek-proyek privatisasi lewat asistensi teknis dan
finansial.
Privatisasi
dalam keyataannya bukan sekedar mengatasi masalah fiskal, tetapi adalah
komponen utama dari sebuah paradigma governance baru, yang disebut
neoliberal; yaitu tuntutan akan efisiensi dan efektivitas pemerintahan yang
saat ini dianggap berada di bawah standard an mengalami tekanan anggaran.
Privatisasi adalah paradigm korporatis, berorientasi ke pasar, mencari
keuntungan, dan meminimalkan peran Negara daam perekonomian. Dalam praktikya,
privatisasi adalah penjualan asset-aset pemerintah secara murah kepada pihak
swasta, bahkan asset yang termasuk hajat hidup publik, seperti air, jalan
raya dan lain-lain.
Wujud
Globalisasi di Ranah Politik
Kehidupan
politik mencakup bermacam-macam kegiatan berkaitan dengan perilaku politik
individu maupun kelompok kepentingan. Seorang individu atau kelompok dapat
disebut berpolitik manakala mereka berpartisipasi dalam kehidupan politik dan
aktivitas mereka berhubungan dengan pelaksanaan kebijaksanaan untuk suatu
masyarakat. Globalisasi ekonomi dan budaya yang diprakarsai Negara-negara
Barat merupakan bagian dari kebijakan sistem Barat yang melibatkan suatu
masyarakat, turut serta melaksanakan kebijaksanaan politik Barat. Kebijakan
politik tidak hanya menyangkut hubungan politik maupun ekonomi, melainkan
juga demokratisasi, lingkungan hidup dan hak asasi manusia.
Kelompok-kelompok
Negara yang bekerja sama dalam bidang ekonomi seperti AFTA, APEC, SEM maupun
NAFTA, pada hakikatnya tidak lepas dari kebijakan politik. Dunia Barat yang
memegang kebijaksanaan ekonomi global itulah yang melontarkan isu
demokratisasi. Demokrasi tidak sekedar menjamin hak politik dan tegaknya rule
of law. Demokrasi juga harus mencakup bidang ekonomi dengan penguasaan
kekuatan-kekuatan ekonomi dan upaya memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi,
terutama perbedaan-perbedaan yang timbul dari distribusi kekayaan yang tidak
merata. Isu demokrasi dalam hal ini mencakup masalah-masalah: upah minimum,
pensiun, pendidikan umum, asuransi, mengurangi pengangguran, dan sebagianya.
Globalisasi
politik juga melibatkan isu lingkungan hidup (environment) yang meliputi
seluruh bentuk lingkungan yang terdiri dari:
1.
Lingkungan mati atau lingkungan fisik (physical environment).
2.
Lingkungan biologis (biological environment)
3.
Lingkungan manusia dan lingkungan sosial-budaya (social and cultural
environment)
Dalam
Bab I Pasal I Ayat UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan: lingkungan hidup adalah kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di
dalamnya manusia dan perilakunya, yang memengaruhi kelangsungan perilaku
kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Manusia
menempati posisi terpenting dalam lingkungan hidup ini untuk melindungi
lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutu serta untuk menjamin
kelestariannya. Lingkungan hidup harus mendapat perhatian dan penanganan
secara terpadu, baik dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan,
pengendalian, pemulihan maupun pengembangannya. Pengelolaan secara terpadu
ini mempertimbangkan kesatuan ekosistem di dalam unsure-unsur lingkungan
hidup yang saling memengaruhi.
Isu
lingkungan hidup menggambarkan kecemasan dunia Barat terhadap ‘perilaku’
Negara Dunia Ketiga dalam mengeksplorasi sumber dayanya. Pemanasan global,
polusi, efek rumah kaca dan kelangkaan flora fauna dijadikan komoditas
politik Negara maju dalam mengatur kebijakan politik dan eknomi Negara Dunia
Ketiga. Sebuah bantuan (baca: utang) luar negeri Negara Dunia Ketiga acapkali
dibumbui proposal lingkungan hidup (termasuk demokratisasi tentunya) dengan
versi Negara investor. Standarisasi ini menjadikan Negara Dunia Ketiga
menjadi tidak independen dalam menentukan sikap politik Negara masing-masing.
Selain
lingkungan hidup, yang masih menjadi isu politik global adalah Hak Asasi
Manusia (HAM). Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Nomor 39 Tahun
1999, Bab I, Pasal 1, Ayat 1 menyebutkan pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah,
dan setap orang demi kehormatan atas perlindungan harkat dan martabat manusia.
Persoalan HAM meliputi penentuan nasib sendiri, pencegahan diskriminasi,
administrasi peradilan, penahanan dan penganiayaan, kejahatan perang,
kejahatan kemanusiaan termasuk genosida, lembaga perbudakan dan lembaga
praktik serupa, kewarganegaraan, ketiadaan kewarganegaraan, suaka dan
pengungsi, perkawinan dan keluarga, anak-anak dan remaja, hak bekerja dan
sipil wanita, kebebasan informasi dan perlindungan data, penduduk asli dan
kelompok minoritas.
Hak
Asasi Manusia sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 dan beberapa instrumennya merupakan refleksi dari The Universal
Declaration of Human Right sebagai Resolusi Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang diumumkan pada tanggal 10 Desember 1948.
Seperangkat
hak yang melekat pada manusia, dalam perspektif HAM, adalah anugerah Tuhan
Yang Maha Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi Negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan dan martabat manusia.
Karena itu, siapa pun yang tidak melaksanakan hak asasi manusia berarti
mengingkari martabat manusia. Hak asasi manusia dalam konteks ini menjadi
instrument dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konsep hak
asasi manusia adalah konsep Negara-negara Barat yang mendominasi PBB, untuk
mencapai perdamaian dan keamanan dunia yang diselaraskan dengan keberadaan
manusia dan menempatkan manusia pada posisi yang terpisah dengan Tuhannya.
Hak asasi manusia diduplikasikan menjadi hegemoni politik Barat melalui jalur
penguasaan ekonomi dan teknologi.
Dalam
posisi ini, Negara harus tunduk kepada beberapa konvensi hak asasi manusia
dan beberapa turunannya dalam konvensi hak PBB. Inplikasinya, sebuah Negara
harus bersikap domokratis dan siap mengubah beberapa kebijakan yang melanggar
etatosentrik. Internasionalisasi etatosentrik lebih cenderung menggambarkan
keberpihakan politik Negara maju kepada Negara Dunia Ketiga.
Kebutuhan
akan agenda dan masalah bersama diantara Negara-negara di dunia mengerucut
kepada ide untuk membentuk organisasi internasional. Consensus dari
organisasi internasonal ini telah membawa kesadaran kolektif beberapa Negara
terhadap permasalahan yang dihadapinya. Sebuah pembangunan di kawasan akan
berhadapan dengan perbedaan budaya, kebutuhan dan cara pandang suatu Negara
terhadap sikap sosial, politik, ekonomi, budaya sampai pertahanan dan
keamanan. Komunitas professional juga mempunyai kebutuhan bersama terhadap
ratifikasi traktat atau konvensi yang diberikan PBB. Pada akhirnya, jaringan
organisasi ini lebih mudah digunakan daripada kemampuan kekuatan diplomatic
antarnegara.
Fenomena
cukup menarik ditunjukkan bahwa globalisasi politik berimplikasi pada model
hubungan internasinal, secara spesifik dengan globalisasi tiga dunia
(kapitalis, sosialis maupun Dunia Ketiga) dapat bersatu. Perang Dingin telah
menjadi sejarah, dan kepentingan untuk membentuk dunia baru telah menjadi
kepentingan bersama. Interpretasi dari analisis ini ditunjukkan Waters
(1995). Pertama, pembangunan liberalisasi demi menunjukkan meleburnya
kekuatan super power (pasca-Soviet). Kedua, kemenangan Amerika Serikat dalam
Perang Dingin dan perang di Kuwait (dan terbaru di Afghan) merupakan
kombinasi antara Negara adidaya militeristik dengan Negara yang kuat
pendanaan. Ketiga, kepentingan dunia yang multipolar telah berganti menjadi
model hubungan internasional.
Analisis
budaya politik dibangun oleh Fukuyama (1992) dan Huntington (1991). Nilai dan
budaya politik akhirnya mengerucut kepada kebutuhan akan kesamaan cara
pandang dalam memahami hubungan antarnegara. Implikasinya, setiap Negara
kembali menguatkan tradisi nasionalnya agar tetap mampu bersaing dalam dunia
global.
Soros
(2001) menilai kekuatan budaya Negara dan bangsa seperti etika konfusian akan
memenangkan pertarungan dalam globalisasi ini. Namun, pertarungan antara
kepentingan pribadi dan kapitalis akan berhadapan dengan kepentingan bangsa
atau kepentingan publik. Di sinilah perdebatan antara kapitalisme dan
demokrasi. Untuk itu, perlu kombinasi yang kuat antara sistem kapitalisme
dengan nilai demokrasi sebuah Negara. Hegemoni Negara adidaya yang akan
memainkan peran ini.
|
0 Response to "INDONESIA Di TENGAH ARUS GLOBALISASI "
Posting Komentar