INDONESIA Di TENGAH ARUS GLOBALISASI





Memaknai Globalisasi
Kata ‘globalisasi’ diambil dari kata global. Kata ini melibatkan kesadaran baru bahwa dunia adalah sebuah kontinitas lingkungan yang terkonstruksi sebagai kesatuan utuh. Marshall McLuhans menyebut dunia yang diliputi kesadaran globalisasi in global village (desa buana). Dunia menjadi sangat transparan, sehingga seolah tanpa batas administrasi suatu Negara. Batas-batas geografis suatau Negara menjadi kabur. Globalisasi membuat dunia menjadi transparan akibat perkembangan pesat lmu pengetahuan dan teknologi serta adanya sstem informasi satelit. Arus globalisasi lambat laun semakin meningkat dan menyentuh hamper setiap aspek kehidupan sehari-hari. Globalisasi memunculkan gaya hidup cosmopolitan yang ditandai oleh berbagai kemudahan hubungan dan terbukanya aneka ragam informasi yang memungkinkan individu dalam masyarakat mengikuti gaya-gaya hidup baru yang disenangi (Muctarom, 2005).
Istilah globalisasi yang dipopulerkan Theodore Lavitte pada 1985 ini tela menjadi slogan magis di dalam setiap topik pembahasan. Substansi gobalisasi adalah ideologi yang menggambarkan proses interaksi yang sangat luas dalam berbagai bidang: keonomi, politik, sosial, teknologi dan budaya.
Globalisasi juga merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses multilapis dan multidimensi dalam realitas kehidupan yang sebagian besar dikonstruksi Barat, khususnya oleh kapitalisme dengan nilai-nilai dan pelaksanaannya. Didalam dunia global, bidang-bidang di atas terjalin secara luas, erat, dan dengan proses yang cepat. Hubungan ini ditandai dengan karakteristik hubungan antara penduduk bumi yan gmelampaui batas-batas konvensional, seperti bangsa dan Negara. Keadaan demikian ini menunjukkan bahwa relasi antara kekuatan bangsa-bangsa di dunia akan mewarnai berbagai hal, yaitu sosial, hukum, ekonomi, dan agama.
Fredman (1999) mengartikulasikan globalisasi sebagai sebuah interelasi yang sedemikian eratnya antara Negara, pasar dan teknologi. Kondisi ini memungkinkan baik perorangan, perusahaan, maupun Negara untuk lebih mudah menjangkau ke seluruh penjuru dunia, lebih cepat, lebih dalam, lebih luas dan tentu saja lebih murah daripada sebelumnya. Globalisasi ditandai dengan disatukannya dunia dengan teknologi internet (world-wide-web); meningkatnya fluktuasi perdagangan internasional sampai ke derajat yang luar biasa; digantinya sistem, mekanisme hingga budaya yang lama, yang tidak efisien dengan yang baru, yang lebih produktif, lebih efisien; dan seluruh teman maupun lawan dikonversi menjadi competitor.
Hemmer (2002) memformuasikan globalisasi sebagai pembagian proses produksi ke berbagai lokasi yang berjauhan, yang memacu pesatnya perdagangan barang, PMA, dan integrasi antarpasar modal dunia, maupun semakin disesuaikannya struktur permintaan dan konsumsi nasonal/lokal terhadap produk-produk internasional. Singkatnya, globalisasi adaah terjadinya internasionalisasi aktivitas ekonomi secara ekstrem.
Globalisasi yang mengemuka dewasa ini merupakan hasil dari system dan proses pembangunan dunia internasional yang bertumpu kepada strategi “satu memantapkan semua” yang dijalankan kaum kapitalis dalam masyarakat internasional yang demikian heterogen. Strategi itu sendiri merupakan respons terhadap tantangan cultural dan intelektual masyarakat internasional dewasa ini. Konsep yang mulanya dirumuskan sebagai Konsensus Washington (Chomsky, 2001), akhirnya dipopulerkan dengan terminology globalisasi. Ia tampil sebagai sebuah terminology baru, dalam bahasa mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, James Baker, disebut “sebuah tatanan ekonomi liberal global, sebuah tatanan dunia kapitalis”.
Globalisasi yang mengemuka dewasa ini merupakan hasil dari system dan proses pembangunan dunia internasional yang bertumpu kepada strategi “satu memantapkan semua” yang dijalankan kaum kapitalis dalam masyarakat internasional yang demikian heterogen.
Globalisasi bukan hanya, atau bahkan terutama, tentang saling ketergantungan ekonomi, tetapi tentang transformasi waktu dan ruang dalam kehidupan kita. Peristiwa di tempat yang jauh, entah yang berkaitan dengan ekonomi atau tidak, memengaruhi kita secara lebih langsung dan segera daripada yang pernah terjadi sebelumnya. Sebalknya, keputusan yang kita ambil sebagai individu-individu seringkali memiliki implikasi global. Kebiasan makan masing-masing individu, misalnya memengaruhi para produsen makann, yang mungkin hidup di sisi lain dunia ini.
Revolusi komunikasi dan penyebaran teknologi informasi sangat erat kaitannya dengan proses-proses globalisasi. Ini bahkan juga berlaku dalam arena ekonomi. Pasar uang yang bergerak dua puluh empat jam bergantung pada gabungan teknologi satelit dan computer yang juga memengaruhi banyak aspek kemasyarakatan lainnya. Dunia dengan komunikasi elektronik yang seketika, dimana bahkan yang berada wilayah termiskin pun terlibat, mengguncang institusi-institusi lokal dan pola kehidupan sehari-hari. Dampak televise saja sudah demikian besar. Sebagian besar komentator setuju, misanya, bahwa peristiwa-peristiwa tahun 1989 di Eropa Timur tak akan terungkap sedemikian rupa jika tak ada televise.
Begitulah, globalisasi menjadi kekuatan yang terus meningkat, dan dapat menimbulkan aksi dan reaksi dalam kehidupan. Globalisasi melahirkan dunia yang terbuka untuk saling berhubungan, terutama dengan ditopang teknologi informasi yang sedemikian canggih. Topangan teknologi informasi ini pada gilirannya dapat mengubah segi-segi kehidupan, baik kehidupan material maupun kehidupan spiritual.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini di satu sisi memberikan kemudahan hidup bagi umat manusia, tetapi di sisi lain dapat menimbulkan berbagai perubahan, diantaranya pergeresan nilai. Soejatmiko menyebutkan tiga factor utama yang mendorong terjadinya perubahan, yaitu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, factor kependudukan dan ekologi (lingkungan hidup). Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kunci perubahan. Dalam konteks ini, Negara-negara Barat yang berbahasa Inggris, menurut John Naisbitt dan Patricia Aburdence, akan mendominasi gaya hidup global.

Wujud Globalisasi di Ranah Ekonomi
Pembahasan mengenai globalisasi kembali mengemuka pada bulan November 2002 di Majalah Criminal Politic Magazine terbitan Amerika dibawah rubric Globalology (al-Khatib, 2000). Majalah tersebut mempublikasikan sebuah artikel berjudul “The Carrol Quigley-Clinton Connection” (Hubungan Presiden Clinton dengan Profesor Carrol Quigley). Carrol Quigley adalah dosen Clinton di Universitas Geogetown, yang mengasuh beberapa mata kuliah mengenai ekonomi strategis pada salah satu program pascasarjana universitas tersebut. Tulisan itu menyebutkan, Carrol Quigley pernah mengijinkan Clinton mengutip kebijakan-kebijakan yang bersifat rahasia dan meminta Clinton mempelajarinya dan turut serta mempersiapkan kajian-kajian yang dapat menguntungkan Pemerintah Amerika. Clinton terus melakukan kajian dan persiapan-persiapan selama kurun waktu 20 tahun. Akhirnya, ia berhasil menelorkan ide-ide ekonomi yang berhubungan dengan Tata Dunia Baru. Dia telah meletakkan asas-asas kajian dan penelitiannya yang dibuktikan dengan pernyataan “tidaklah mudah menciptakan tata aturan dunia yang didasarkan pada dominasi perekonomian internasional sebagai satu kesatuan”.
Ide-ide ekonomi tersebut muncul ke permukaan pada awal dasawarsa 900-an. Ide tersebut mengintroduksi strategi ekonomi dalam skala luas untu melemahkan sosialisme secara total dan menggantikannya dengan kapitalisme, termasuk ide globalisasi ekonomi pasar, dan perdagangan bebas sebagai ide-ide yang diklaimaktual dan paling relevan di era millennium. Tokoh yang menjadi perintis globalisasi ini adalah Presiden Clinton, mengingat istilah ini muncul bersamaan dengan awal pemerintahannya. Strategi ekonomi global ini dilakukan dengan melancarkan tenakan agar dihilangkannya hambatan-hambatan, pajak-pajak, bea-bea masuk dan ketentuan-ketentuan mengenai proteksi serta monopoli perekonomian Negara.
Globalisasi ekonomi merupakan pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam sebuah system ekonomi global. Segenap aspek perekonomian; pasokan dan permintaan, bahan mentah, informasi dan transportasi, tenaga kerja, keuangan, distribusi, serta kegiatan-kegiatan pemasaran meyatu atau terintegrasi dan terjalin dalam huungan saling ketergantungan yang berskala dunia. Perjanjan internasional di Marakesh, Maroko, April 1994 yang menghasilkan kesepakatan internasional yang disebut General Agreement on Tariff and Trade (GATT) menjadi tonggak awal dimulainya era globalisasi di bidang ekonomi. Substansi kesepakatan GATT menunjukkan, setiap warga Negara yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut harus patuh pada aturan internasional yang mengatur perilaku perdagangan antarpemerintah dalam era perdagangan bebas. Sebagai tindak lanjut, pada 1995 dibentuk sebuah organiasasi pengawasan dan control perdagangan global yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO). Kemudian disusul oleh pembentukan blok-blok ekonomi; di Asia dibentuk Asean Free Trade Area (AFTA), di Asia Pasifik dibentuk Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) dan di kawasan Eropa dibentuk Single European Market (SEM) dan di Negara-negara Atlantik Utara dibentuk North America Free Trade Area (NAFTA).
Perdagangan global tersebut dilandasi motivasi utama untuk memaksimalkan keuntungan (uang) dan kekuasaan. Globalisasi yang menghendaki perdagangan bebas menuntut seluruh perekonomian diserahkan pada mekanisme pasar. Mekanisme pasarlah yang akan menetukan apakah sebuah produk dari sebuah Negara dapat bersaing atau tidak. Pola ekonomi global inilah yang kemudian memunculkan “neoliberalisme”. Pasar akan dikuasai oleh komoditas-komoditas dari Negara maju yang akan memarginalkan Negara-negara miskin. Sebagai akibatnya adalah munculnya kesenjangan ekonomi yang akut. Ini berarti globalisasi ekonomi tidak menjamin keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat lemah dan miskin, baik dalam skala internasional maupun nasional.
Fenomena menunjukkan bahwa proses integrasi system ekonomi nasional ke dalam ekonomi global terus berlangsung dengan penerapan format ekonomi liberal ke dalam struktur perekonomian dunia. System yang berlaku menunjukkan eksport untuk setiap Negara ditujukan untuk pasar dunia, selain untuk pasar regional. System ini mengharuskan dihapuskannya batasan dan hambatan yang menghalangi arus masuk dan keluarnya modal, barang dan jasa dari suatu Negara. Dengan demikian, pasar dan perekonomian dunia itu bukan perekonomian yang tertutup dan terproteksi, melainkan perekonomian terbuka, yang disebut dengan pasar terbuka, pasar bebas.
Pasar tidak pernah memikirkan mengenai aspek sosial atau agenda penghapusan kemiskinan. Pasar adalah mengenai bagaimana menghasilkan interaksi-interaksi penawaran dan pemerintahan, yang pada akhirnya didominasi “pemain besar” yang bertujuan mencari laba yang membutuhkan gagasan-gagasan besar yang sempurna. Bukti paling jelas adalah liberalisasi sector keuangan yang diperjuangkan World Bank dan IMF sejak tahun 1980-an, yang kini menjadi sebab utama krisis ekonomi, pelarian modal keluar, beban utang yang meningkat tajam, dan volatilitas keuangan yang tidak berkesudahan yang membangkrutkan bangsa-bangsa Negara berkembang dan miskin hanya dalam hitungan jam dan hari.
Globalisasiadalah pasar yang mengglobal, atau kapitalisme global. Pasar bukanlah konsep netral, tetapi nama lain dari kapitalisme. Kalau dulu bernama kapitalisme internasional, sekarang berubah nama menjadi kapitalisme global, karena secara kauntitatif telah membesar secara luar biasa. Kalau dulu sekitar tahun 1980-an, transaksi keuangan dunia hanya sekitar 300 juta dollar sehari, sekarang di tahun 1990-an meningkat tajam menjadi 1 trilliun dollar sehari. Kalau dulu transaksi memerlukan waktu berhari-hari, sekarang cukup dalam hitungan per detik, maka milliaran dollar bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain, berkat electronic mail. Jadi, arti kata global mengandung arti lingkupnya yang kompak, terintegrasi dan menyatu; menggantikan ekonomi nasional dan regional.
Pasar dengan sendirinya berlawanan dengan agenda penghapusan kemiskinan yang hendak dilakukan oleh siapa pun ( Setiawan, 2006), baik pemerintah nasional, badan-badan PBB, organisasi-organisasi non-pemerintah, organisasi-organisasi charity, badan-badan keagamaan, dan lain-lain. Upaya penghapusan kemiskinan akan mirip “menabur garam di laut”, selama globalisasididefinisikan seperti sekarang ini, yaitu globalisasi versi neoliberal. Globalisasi seperti ini mengandung dua ciri utama, yaitu:
(1) Multilateralisme, yaitu kekuasaan badan-badan antarpemerintah yang telah menjadi kepanjangan tangan ekspansi global kapitalisme, yaitu tiga bersaudara (triumvirat) Bank Dunia-IMF-WTO. Lembaga-lembaga Bretton Woods semula dimaksudkan untuk menstabilkan perekonomian setelah Perang Dunia II guna membangun kesejahteraan Negara-negara anggotanya. Paham dasarnya adalah Keynesian. Akan tetapi semenjak 1980-an, bersamaan dengan dominannya paham neoliberal, multilateralisme telah bertukan paham ikut memeluk neoliberalisme. Dan bersamaan dengan kapitalisme global, multilateralisme telah menempatkan dirinya menjadi supra-negara. Operasi badan-badan ini telah melabrak kedaulatan nasional Negara, mengintervensi kebijakan domestic, dan memfasilitasi masuknya TNC untuk menguasai ekonomi suatu Negara bersangkutan. Multilateralisme juga berarti koherensi atau kerjasama erat di antara Bank Dunia-IMF-WTO dalam operasi-operasinya, khususnya dengan menggunakan cross-conditionalities (prasyarat bersilang) kepada Negara-negara Dunia Ketiga. Akan tetapi perlu diingat bahwa di balik badan-badan ini dikuasai sepenuhnya oleh kepentingan Negara-negara maju, khususnya hegemoni Amerika Serikat dan Negara-negara G-7 (Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, Italia).
(2) Transnasionalisasi, yaitu menguatnya monopoli dan konsentrasi modal serta kekuasaan ekonomi kepada korporasi-korporasi besar dunia. Semua mekanisme kapitalisme global berujung pada keuntungan di pihak TNC (Transnational Corporation). Globalisme dan multilateralisme adalah sistem dan mekanisme guna menempatkan TNC pada kedudukan utama. Ini memudahkan TNC melakukan ekspansi ke berbagai Negara dengan mendapat berbagai kemudahan, seperti tarif bea masuk yang rendah atau malahan nol persen; kemudahan invetasi lewat penanaman modal asing 100%; penguasaan dan monopoli HAKI sehingga teknologi terus menerus dikuasai mereka; kemudahan untuk menguasai dan memonopoli berbagai sektor usaha di berbagai Negara, bahkan yang bersifat barang publik (public goods). Hal ini semua yang diatur oleh WTO, IMF, dan Bank Dunia. Semua kemudahan tersebut dan penghapusan atas berbagai hambatan usaha di suatu Negara akan semakin memperbesar TNC dan membuatnya sebagai penguasa dunia yang sebenarnya.
Mekanisme globalisasi yang juga merupakan bentuk kolonialisme baru adalah utang. Utang pada dasarnya bukanlah semua kedermawanan atau bantuan Negara maju kepada Negara berkembang. Kebalikannya, utang merupakan bagian utama dari kolonialisme baru. Semenjak 1950-an, sudah disadari bahwa utang merupakan instrument bagi pendiktean kepentingan Negara-negara Barat kepada Negara miskin peminjamnya. Meskipun dalihnya adalah bunga lunak yang meringankan, kenyataannya nilai politisnya jauh lebih bear. Jadi, nilai dominasi Negara maju untuk mendikte yang boleh dan yang tidak, atau kebijakan yang baik dan buruk bagi mereka, merupakan dasar dari strategi pembangunanisme yang salah kaprah. Utang merupakan alat ampuh hegemoni Negara Barat atas klien-kliennya, sehingga posisi Negara-negara miskin tersebut ada dibawah (disubordinasi). Utang telah memainkan peran yang luar biasa dalam menjaga suatu Negara tunduk pada orbit kapitalisme Barat. Utang juga menguntungkan, karena tingkat pengembaliannya lebih pasti ketimbang utang komersial, karena dijamin Negara. Negara pasti membayar. Utang adalah bisnis yang stabil. Dan makin lama jangka waktu pinjamannya, maka semakin menguntungkan, karena berarti pokok dan bunganya akan berlipat-lipat dalam jangka waktu lama. Dalih bahwa bunga utang dari Bank Dunia dan IMF sangat ringan, juga menyesatkan. Asat ini, bunga utang komersial di tingkat domestic Negara-negara Barat juga kecil, berkisar antara 2-5%; bahkan di Jepang pernah bunga utang bang komersial sampai minus. Jadi, dengan memberikan utang kepada Negara-negara berkembang, mereka sebenarnya diuntungkan. Mereka memang harus mencari pasar di luar, karena pasar domestik mereka stagnan. Apalagi dana pensiun dan dana-dana yang parker dari orang-orang kaya Negara berkembang tidak bisa diserap mereka, sehingga mereka harus mencari pinjaman di lua negeri mereka. Utang juga menghidupkan perekonomian mereka sendiri, karena berarti terbuka luas order untuk perusahaan-perusahaan di Negara maju. Ini karena utang tidak berbentuk tunai dan juga tidak bebas digunakan. Utang adalah in-natura (barang) dan mengikat (tied-aid) dalam arti penggunaannya harus sesuai dengan kepentingan si pemberi pinjaman. Ini berarti supliernya harus dari Negara pemberi utang. Begitu pun konsultan-konsultannya, harus dari mereka. Jadi, utang pada dasarnya meberi penghidupan kepada mereka sendiri. Yang disebut sebagai bantuan atau grant jumlahnya sangat kecil, dan hanya dipakai sebagai “pancingan” atau gula-gula pemikat untuk proyek utang yang lebih besar. Grant juga dipakai untuk memastikan bahwa si pengutang betul-betul akan membayar utangnya. Utang juga tutup mata mengenai korupsi, yang penting “business must go on”. Jadi, pada dasarnya korupsi direstui, karena mereka terus saja mengucurkan utang, meskipun mereka tahu bahwa setiap tahun uang pinjaman tersebut bocor. Utang dengan demikian adalah sebuah bisnis kotor, dan juga kepanjangan bagi kolonialisme baru.
Bentuk nyata Globalisasi adalah privatisasi. Privatisasi atau swastanisasi secara umum berarti pengalihan BUMN kepada perusahaan swasta. Akan tetapi kini arti privatisasi lebih luas dari sekedar penjualan asset publik lewat lelang publik atau penjualan langsung, yaitu termasuk juga berbagai cara lain, seperti pemberian sub-kontrak dan konsesi dari jasa pemerintah; perjanjian lisensi; kontrak manajemen; perjanjian penyewaan usaha; peralatan atau asset; perjanjian usaha patungan (joint-venture¬); secara skema (Build-Operate-Transfer). Privatisasi baru berkembang pesar dalam 15 tahun terakhir ini, khususnya setelah Bank Dunia menjalankan program penyesuaian struktural (Structural adjustment) dan setelah IMF menjalankan program poverty reduction and growth facility (PRGF) di tahun 1980-an. Kedua lembaga ini menekankan kepada liberalisasi perdagangan, pengurangan devisit anggaran, dan memperbaiki kemampuan pemerintah dalam membayar utang-utangnya. Dari sinilah privatisasi dijadikan sebagai pilihan strategi global; dan sejak itu dijalankan oleh berbagai Negara berkembang, khususnya yang menderita ketidakseimbangan ekonomi makro dan terlilit utang. IMF secara instrumental menerapkannya melalui Letter of Intent, sementara Bank Dunia menyediakan pinjaman khusus untuk proyek-proyek privatisasi lewat asistensi teknis dan finansial.
Privatisasi dalam keyataannya bukan sekedar mengatasi masalah fiskal, tetapi adalah komponen utama dari sebuah paradigma governance baru, yang disebut neoliberal; yaitu tuntutan akan efisiensi dan efektivitas pemerintahan yang saat ini dianggap berada di bawah standard an mengalami tekanan anggaran. Privatisasi adalah paradigm korporatis, berorientasi ke pasar, mencari keuntungan, dan meminimalkan peran Negara daam perekonomian. Dalam praktikya, privatisasi adalah penjualan asset-aset pemerintah secara murah kepada pihak swasta, bahkan asset yang termasuk hajat hidup publik, seperti air, jalan raya dan lain-lain.

Wujud Globalisasi di Ranah Politik
Kehidupan politik mencakup bermacam-macam kegiatan berkaitan dengan perilaku politik individu maupun kelompok kepentingan. Seorang individu atau kelompok dapat disebut berpolitik manakala mereka berpartisipasi dalam kehidupan politik dan aktivitas mereka berhubungan dengan pelaksanaan kebijaksanaan untuk suatu masyarakat. Globalisasi ekonomi dan budaya yang diprakarsai Negara-negara Barat merupakan bagian dari kebijakan sistem Barat yang melibatkan suatu masyarakat, turut serta melaksanakan kebijaksanaan politik Barat. Kebijakan politik tidak hanya menyangkut hubungan politik maupun ekonomi, melainkan juga demokratisasi, lingkungan hidup dan hak asasi manusia.
Kelompok-kelompok Negara yang bekerja sama dalam bidang ekonomi seperti AFTA, APEC, SEM maupun NAFTA, pada hakikatnya tidak lepas dari kebijakan politik. Dunia Barat yang memegang kebijaksanaan ekonomi global itulah yang melontarkan isu demokratisasi. Demokrasi tidak sekedar menjamin hak politik dan tegaknya rule of law. Demokrasi juga harus mencakup bidang ekonomi dengan penguasaan kekuatan-kekuatan ekonomi dan upaya memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi, terutama perbedaan-perbedaan yang timbul dari distribusi kekayaan yang tidak merata. Isu demokrasi dalam hal ini mencakup masalah-masalah: upah minimum, pensiun, pendidikan umum, asuransi, mengurangi pengangguran, dan sebagianya.
Globalisasi politik juga melibatkan isu lingkungan hidup (environment) yang meliputi seluruh bentuk lingkungan yang terdiri dari:
1. Lingkungan mati atau lingkungan fisik (physical environment).
2. Lingkungan biologis (biological environment)
3. Lingkungan manusia dan lingkungan sosial-budaya (social and cultural environment)
Dalam Bab I Pasal I Ayat UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan: lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang memengaruhi kelangsungan perilaku kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Manusia menempati posisi terpenting dalam lingkungan hidup ini untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutu serta untuk menjamin kelestariannya. Lingkungan hidup harus mendapat perhatian dan penanganan secara terpadu, baik dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan maupun pengembangannya. Pengelolaan secara terpadu ini mempertimbangkan kesatuan ekosistem di dalam unsure-unsur lingkungan hidup yang saling memengaruhi.
Isu lingkungan hidup menggambarkan kecemasan dunia Barat terhadap ‘perilaku’ Negara Dunia Ketiga dalam mengeksplorasi sumber dayanya. Pemanasan global, polusi, efek rumah kaca dan kelangkaan flora fauna dijadikan komoditas politik Negara maju dalam mengatur kebijakan politik dan eknomi Negara Dunia Ketiga. Sebuah bantuan (baca: utang) luar negeri Negara Dunia Ketiga acapkali dibumbui proposal lingkungan hidup (termasuk demokratisasi tentunya) dengan versi Negara investor. Standarisasi ini menjadikan Negara Dunia Ketiga menjadi tidak independen dalam menentukan sikap politik Negara masing-masing.
Selain lingkungan hidup, yang masih menjadi isu politik global adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Nomor 39 Tahun 1999, Bab I, Pasal 1, Ayat 1 menyebutkan pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setap orang demi kehormatan atas perlindungan harkat dan martabat manusia. Persoalan HAM meliputi penentuan nasib sendiri, pencegahan diskriminasi, administrasi peradilan, penahanan dan penganiayaan, kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan termasuk genosida, lembaga perbudakan dan lembaga praktik serupa, kewarganegaraan, ketiadaan kewarganegaraan, suaka dan pengungsi, perkawinan dan keluarga, anak-anak dan remaja, hak bekerja dan sipil wanita, kebebasan informasi dan perlindungan data, penduduk asli dan kelompok minoritas.
Hak Asasi Manusia sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan beberapa instrumennya merupakan refleksi dari The Universal Declaration of Human Right sebagai Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diumumkan pada tanggal 10 Desember 1948.
Seperangkat hak yang melekat pada manusia, dalam perspektif HAM, adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan dan martabat manusia. Karena itu, siapa pun yang tidak melaksanakan hak asasi manusia berarti mengingkari martabat manusia. Hak asasi manusia dalam konteks ini menjadi instrument dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konsep hak asasi manusia adalah konsep Negara-negara Barat yang mendominasi PBB, untuk mencapai perdamaian dan keamanan dunia yang diselaraskan dengan keberadaan manusia dan menempatkan manusia pada posisi yang terpisah dengan Tuhannya. Hak asasi manusia diduplikasikan menjadi hegemoni politik Barat melalui jalur penguasaan ekonomi dan teknologi.
Dalam posisi ini, Negara harus tunduk kepada beberapa konvensi hak asasi manusia dan beberapa turunannya dalam konvensi hak PBB. Inplikasinya, sebuah Negara harus bersikap domokratis dan siap mengubah beberapa kebijakan yang melanggar etatosentrik. Internasionalisasi etatosentrik lebih cenderung menggambarkan keberpihakan politik Negara maju kepada Negara Dunia Ketiga.
Kebutuhan akan agenda dan masalah bersama diantara Negara-negara di dunia mengerucut kepada ide untuk membentuk organisasi internasional. Consensus dari organisasi internasonal ini telah membawa kesadaran kolektif beberapa Negara terhadap permasalahan yang dihadapinya. Sebuah pembangunan di kawasan akan berhadapan dengan perbedaan budaya, kebutuhan dan cara pandang suatu Negara terhadap sikap sosial, politik, ekonomi, budaya sampai pertahanan dan keamanan. Komunitas professional juga mempunyai kebutuhan bersama terhadap ratifikasi traktat atau konvensi yang diberikan PBB. Pada akhirnya, jaringan organisasi ini lebih mudah digunakan daripada kemampuan kekuatan diplomatic antarnegara.
Fenomena cukup menarik ditunjukkan bahwa globalisasi politik berimplikasi pada model hubungan internasinal, secara spesifik dengan globalisasi tiga dunia (kapitalis, sosialis maupun Dunia Ketiga) dapat bersatu. Perang Dingin telah menjadi sejarah, dan kepentingan untuk membentuk dunia baru telah menjadi kepentingan bersama. Interpretasi dari analisis ini ditunjukkan Waters (1995). Pertama, pembangunan liberalisasi demi menunjukkan meleburnya kekuatan super power (pasca-Soviet). Kedua, kemenangan Amerika Serikat dalam Perang Dingin dan perang di Kuwait (dan terbaru di Afghan) merupakan kombinasi antara Negara adidaya militeristik dengan Negara yang kuat pendanaan. Ketiga, kepentingan dunia yang multipolar telah berganti menjadi model hubungan internasional.
Analisis budaya politik dibangun oleh Fukuyama (1992) dan Huntington (1991). Nilai dan budaya politik akhirnya mengerucut kepada kebutuhan akan kesamaan cara pandang dalam memahami hubungan antarnegara. Implikasinya, setiap Negara kembali menguatkan tradisi nasionalnya agar tetap mampu bersaing dalam dunia global.
Soros (2001) menilai kekuatan budaya Negara dan bangsa seperti etika konfusian akan memenangkan pertarungan dalam globalisasi ini. Namun, pertarungan antara kepentingan pribadi dan kapitalis akan berhadapan dengan kepentingan bangsa atau kepentingan publik. Di sinilah perdebatan antara kapitalisme dan demokrasi. Untuk itu, perlu kombinasi yang kuat antara sistem kapitalisme dengan nilai demokrasi sebuah Negara. Hegemoni Negara adidaya yang akan memainkan peran ini.

0 Response to "INDONESIA Di TENGAH ARUS GLOBALISASI "

Posting Komentar