Resensi Novel : Tango - Goo Hye Sun



Judul : Tango 
Penulis : Goo Hye Sun 
Penerbit : PT. Ufuk Publishing House 
Tebal : 308 halaman 
Harga : 54.900 
Genre : Life, Romance 
Cetakan : I Juli 2012

Seperti apa rasanya ditinggal orang yang kita cintai? 

Bagaimana kita bisa menikmati kekosongan yang datang begitu saja tanpa diminta? 
 
Yun, seorang penerjemah novel Korea baru saja ditinggal pergi kekasihnya Jong Woon. Bukan, lebih tepatnya Yun yang meninggalkan Jong Woon. Yun tidak bisa mengerti kekosongan apa yang muncul dalam hati Jong Woon sehingga Jong Woon sebegitu depresinya. Mereka tidak pernah saling mengerti. Mereka terlalu berbeda untuk disatukan. Tak ada yang mampu memahami, baik itu Yun ataupun Jong Woon. Yun tidak bisa mengerti Jong Woon yang menjadikan kopi espresso, rokok dan alkohol menjadi kenyataan hidupnya. Yun berpikir keras. Semakin berusaha memahami, semakin ia tidak mengerti. Begitu pula Jong Woon, Ia tak mengerti bagaimana cokelat panas bisa menjadi kenyataan bagi seorang Yun. Baginya, tak ada yang bisa hidup dengan espresso, rokok dan alkohol. Itu kenyataan yang harus dihadapi semua orang, pikirnya. 


Alkohol dan rokok menjadi alasan mereka berpisah. Terdengar konyol, tetapi itu kenyataan. Tango. Yun dan Jong Woon adalah pasangan yang menari Tango dengan tidak seirama. Yun dan Jong Woon saling menginjak kaki satu sama lain dan menahan rasa sakit. Mereka terus menari sampai kaki mereka terluka parah. Hati Yun terlanjur terluka dengan kepergian Jong Woon. Ia membenamkan diri dalam kesedihan yang dialaminya. Ketika ia berusaha memaafkan pengkhianatan dan menerima kembali cinta, ia menemukan Jong Woon sudah bersama wanita lain. Hee Dae, sahabat pria satu-satunya, menenangkannya dan meyakinkannya bahwa Jong Woon bukan pria yang tepat untuknya. Perlahan, pemikiran itu tertanam di dalam otaknya. Dia mulai sedikit-sedikit bisa mengeyahkan eksistensi Jong Woon di dalam pikirannya. Hee Dae adalah sahabat pria yang dianggapnya sebagai manusia, bukan pria, mengingat fakta bahwa dia seorang gay. Ia sangat bersyukur bisa bersahabat dengannya selama lebih dari sepuluh tahun. Ia selalu ada disana, tersenyum untuknya ketika ia sedih. 

Yun mulai ingin berubah. Ia mulai mengenakan high heels yang sudah disimpannya tak terpakai di sudut rumah kecilnya. Ia tak pernah mengenakannya karena bertolak belakang dengan tinggi badan Jong Woon. Ia tidak pernah tahu bahwa high heels itu yang akan mengantarkannya pada takdir barunya. Takdir bertemu dengan Park Si Hoo, seorang pria yang mampu mengajarkannya akan arti kemurnian, cinta dan ketulusan. Si Hoo memasuki kehidupan Yun disaat bersamaan dengan Min Young, seorang pria setengah baya yang tanpa ragu mengajukan lamaran pada Yun. Ia tidak bimbang, ia tahu betul mana yang ia pilih. Min Young yang hartanya tak akan habis meski ia menghabiskannya untuk berbelanja setiap hari di Hongdae, atau Si Hoo yang tidak punya harta apapun tapi mampu menawarkan kehangatan dan kenyamanan. Ia tidak pernah tahu bahwa ia sedang berjalan ke arah perpisahan yang jauh lebih menyakitkan daripada dengan Jong Woon dulu.

Ini pertama kali saya membaca novel karangan seorang aktris Korea. Seperti diketahui, Goo Hye Sun adalah pemeran utama drama fenomenal Korea Boys Before Flowers. Ada perasaan aneh ketika mulai membaca novel ini. Diksi yang dipilih Hye Sun bisa dikatakan sangat dewasa. Ia melakukan pendekatan filsafat dengan pembacanya. Membaca novel ini tidak seperti membaca novel karangan seorang Asia, lebih seperti membaca novel barat. Butuh cukup waktu untuk mulai memahami apa yang dimaksud “kenyataan”, “kemurnian”, “pertengkaran”, dan “cinta.” Hye Sun mampu membawa pembaca berpikir keras dan terhanyut dalam emosi seorang Yun. Novel ini diambil dari sudut pandang orang pertama, menggunakan “aku” sebagai sudut pandang Yun. Tango menawarkan emosi yang kuat. Kebingungan, kesedihan, kekosongan yang dirasakan Yun disampaikan dengan sangat baik. 

Saya sangat suka dengan karakter Si Hoo. Dia digambarkan sebagai sosok pembawa kehangatan dan kenyamanan pada sekitarnya. Banyak quote menarik yang muncul dari perbincangannya bersama Yun.

“... Tentu saja cinta antara lawan jenis itu yang sebenarnya bukanlah sebuah hal yang buruk. Yang buruk adalah cinta masyarakat modern yang moralnya makin merosot dan mencintai dengan egois. Cinta dengan rasa simpati merupakan hal yang sangat cocok dengan masyarakat saat ini...” 

“... Cinta hanya memiliki kehangatan, karena cinta hanya dapat dirasakan dengan hati. Tidak sulit bagi seorang manusia untuk mengetahui cinta. Cinta adalah sesuatu yang sangat spesial...” 

“Setiap aku berjalan selama ini, tanpa kusadari aku selalu menghindai semua hal dan orang-orang yang ada di depanku. Aku tahu kalau di depanku ada sesuatu, tapi aku tidak tahu secara jelas apa yang ada di depanku itu. Bahkan, aku tidak berusaha mencari tahu...” 

Si Hoo dikisahkan sebagai sosok paling “cerewet” sekaligus pendiam di novel ini. Tetapi sikap banyak bicaranya tidak menghilangkan karakter khasnya yang hangat dan menarik. Saya paling suka bagian ini : 
“Yun, sekarang pejamkan matamu,” kata Si Hoo. 
Aku mengikutinya perkataannya untuk memejamkan mata. Lalu, dia menyuruhku    untuk bernafas. 
“Sekarang kan aku sedang bernafas.”
“Sht...”
Dia memegangiku yang hampir tertawa.
“Kau bisa merasakan bahwa kau sedang bernafas?” bisiknya
“Iya.”
“Selama ini kau tahu?” 

O iya, di novel ini juga diselipkan banyak lukisan-lukisan gitu. Mungkin ini lukisan Hye Sun? Saya kurang tahu dan saya tidak bisa meninggalkan fakta bahwa dia juga seorang pelukis hebat selama membaca novel ini. 


Selamat menyelami emosi Yun dalam novel ini bagi yang mau membacanya.

Sb : http://diataslangitadalangit-phi.blogspot.com

0 Response to "Resensi Novel : Tango - Goo Hye Sun"

Posting Komentar